"naungan belantara"
biosintetik ekologi sebagai respon pendekatan desain yang menggabungkan teknologi dan alam dalam perencanaan area legislatif
di Ibu Kota Negara baru untuk berperan terhadap konservasi dan keanekaragaman hayati.
konsep pohon menjadi sebuah refleksi yang akan diterapkan dalam desain bentuk bangunan maupun pengolahan massa yang ada dalam area legislatif. berangkat dari Indonesia yang merupakan negara kepulauan, konsep archipelago diterapkan ke dalam desain masterplan dengan bentuk massa yang terpisah, selain untuk memudahkan penyesuaian terhadap kontur.
pohon + pohon = pohon belantara, yang menjadi satu rangkauian jalinan tautan lewat tajuk daun sehingga bangunan legislatif ini menjadi tempat beraktivitas pemerintahan serta menjadi sebuah upaya untuk kota berbasis hutan dan kepulauan sebagai simbol transformasi dan kemajuan peradaban Indonesia.
Anatomi bentuk pohon secara visual terdiri dari tajuk (melebar), batang (tirus) dan akar (menyebar), menjadi filosofi bentuk bangunan yang futuristik, dimana bagian bawah massa lebih kecil dari bagian atas (menyerupai payung). Garis-garis kambium pohon secara arsitektural dianalogikan menjadi bentuk yang organik dan dinamis, sebagai dasar bentuk bangunan legislatif. Pohon yang betumbuh secara umum akan menghasilkan buah, seperti halnya Gedung MPR menghasilkan buah buah Undang Undang. Tajuk daun yang saling bertautan antar pohon lebat dalam belantara diaplikasi dalam jalinan parametrik kanopi yang juga menjadi solar cell.
Lembaga legislatif disimbolkan sila kelima Pancasila yaitu padi dan kapas, dengan Garuda di tengahnya digambarkan sebagai pusat di dalam penataan massa di dalam kompleks legislatif. pusat massa kawasan gedung MPR dengan bangunan lain yang melingkupinya. Arah direksi tatanan kawasan dipengaruhi oleh sumbu utama tapak yaitu sumbu tripraja.